Pameo yang diyakini oleh kalangan masyarakat adalah bumi dan segala kekayaannya merupakan warisan nenek moyang, sehingga bisa dieksploitasi habis-habisan untuk alasan bisnis ataupun pemenuhan kebutuhan perut manusia. Padahal bukan demikian, justru bumi dan segala sumber dayanya merupakan titipan anak cucu kita, yang harus kita jaga kelestariannya.
Praktek bisnis yang mengharuskan bumi ‘diperkosa’ dan ‘dijarah’ dengan semena-mena oleh modal-modal besar. Lalu dilupakan begitu saja kala semua sumber daya di keruk habis. Para pengguna sumber daya tersebut sering lupa untuk mengembalikan kelestarian alam. Alasan himpitan ekonomi pun lagi-lagi dijadikan kambing hitam yang dikorbankan bagi alasan perusakan tanah, hutan dan laut.
Perilaku sehari-hari masyarakat harus segera ditertibkan. Penggunaan berbagai sumber daya alam yang ada hendaknya dilakukan dengan cara yang bijaksana, dalam artian sesuai dengan kebutuhan serta mempertimbangkan aspek keberlanjutan manfaat.
Penambangan batu yang mengeruk habis bukit-bukit kecil di kaki gunung, tanpa pernah sadar bahwa itupun sedang menciptakan lubang kuburan bagi penduduk sekitar. Pihak pemerintah pun sebenarnya bukan tidak mengetahui permasalahan ini, karena mereka pula yang mengeluarkan ijin bahan gaian tersebut. Namun dalam prakteknya penyimpangan terjadi dengan sangat mengerikan. Begitu selesai diambil, kemudian ditinggalkan begitu saja. Silahkan lihat di kaki-kaki wilayah gunung jawa tengah, begitu banyak lubang-lubang lambang kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Penggundulan hutan yang tidak mengikuti kaidah, menjadikan erosi dan kepunahan satwa menjadi momok serius bagi kelestarian lingkungan. Mengeksploitasi hutan bukan tak ada aturan, setumpuk peraturan perundang-undangan dibuat hanyaditujukan untuk emnciptakan peluang baru bagi penggundulan hutan yang lebih (tampak) legal. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, apabila taman nasional pusat konservasi pun menyediakan lahan berburu binatang-binatang di hutan. Semua ini bisa diatur. Ada uang yang berdatangan, maka produk hukum pun bisa disesuaikan.
Lain cerita kalau bumi sudah benar-benar hancur. Semuanya habis dan kita hanya bisa mengharap minyak bumi tumpah dari langit, mengharap kayu datang berbalok-balok dari langit. Baru ketika peristiwa itu benar-benar terjadi, kita akan menyesal dan menyesali tindakan buas kita saat ini.
Isu perubahan iklim mulai mendapat perhatian dunia sejak diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992.Pada pertemuan itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian mengenai perubahan iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang tak terkendali adalah penyebab terjadinya perubahan iklim secara global.
Di Indonesia sendiri, isu perubahan iklim belakangan ini mulai mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan.
Laporan para ahli perubahan iklim yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang dipublikasikan pada awal april ini, menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran berbagai kalangan terhadap ancaman perubahan iklim di negeri ini.Laporan yang bertajuk Climate Change Impacts, Adaptation, and Vulnerability menunjukkan ancaman-ancaman perubahan iklim yang sudah terjadi dan diperkirakan akan terjadi di masa depan.Selain itu, posisi Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim tahunan yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada akhir tahun ini, mau tidak mau mewajibkan pemerintah untuk meningkatkan perhatian dan kesadarannya terhadap isu ini.
Ancaman perubahan iklim di Indonesia
Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim.
Letak geografis dan kondisi geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Menurut laporan IPCC, Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman dan dampak dari perubahan iklim.
Kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan dan banjir, menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit yang terkait iklim merupakan beberapa dampak perubahan iklim yang sudah dan akan terjadi di Indonesia.
Sebagian besar, kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat berada di daerah pesisir pantai. Kota-kota ini beberapa dekade mendatang terancam akan tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc Grahanan dari International Institute for Environment and Development, Inggris menemukan bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter dari pinggir pantai terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat perubahan iklim.
Jakarta, Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan tenggelam beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini. Menurunnya produksi pangan akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan juga diperkirakan akan semakin sering terjadi, beberapa daerah di bagian timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang paling rawan terhadap ancaman ini.
Meningkatnya suhu memicu peningkatan prevalensi beberapa penyakit yang terkait iklim seperti malaria, diare, dan penyakit saluran pernapasan.Untuk kasus malaria, peningkatan suhu menyebabkan nyamuk, vektor malaria, yang sebelumnya hanya hidup di daerah rendah, kini dapat hidup di daerah dataran tinggi yang sebelumnya bebas malaria. Hal ini menyebabkan peningkatan penyakit malaria di berbagai daerah di Indonesia. Kelangkaan air bersih akibat kekeringan dan merembesnya air asin karena kenaikan permukaan air laut, memicu peningkatan penyakit diare di masa depan.
Apa yang harus dilakukan??
Melihat begitu luasnya berbagai dampak dari perubahan iklim yang akan terjadi di Indonesia, seluruh kalangan di negeri ini harus segera memulai upaya untuk mengatasinya. Pemerintah, media, serta lembaga swadaya masyarakat harus segera mulai mensosialisasikan pada masyarakat luas berbagai hal yang terkait dengan isu perubahan iklim, baik mengenai dampaknya maupun upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk menahan laju perubahan iklim di negeri ini.
Selama ini, dikenal ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mitigasi atas perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, ini dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fossil di berbagai sektor, dan perlahan beralih dari penggunaan energi tak terbarukan ke energi yang terbarukan dan bersih seperti energi panas bumi, surya, dan bahan bakar nabati.
Sedangkan adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan upaya penyesuaian yang dilakukan manusia untuk menanggapi perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi akibat perubahan iklim.
Untuk Indonesia, upaya adaptasi atas perubahan iklim lebih mendesak dilakukan karena berbagai dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan di berbagai wilayah Indonesia, dan untuk mengatasinya tidak cukup hanya dengan upaya mitigasi belaka.
Sayangnya, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai data-data yang komprehensif mengenai perubahan iklim, sehingga masih sangat sulit untuk menyusun peta kerentanan dampak-dampak dari perubahan iklim. Pemerintah seharusnya mulai serius untuk mengumpulkan data yang komprehensif tentang perubahan iklim, tentunya hal ini dapat berjalan secara efektif jika melibatkan seluruh lembaga-lembaga yang bidang kerjanya terkait dengan perubahan iklim. Tanpa tersedianya data-data perubahan iklim sebelumnya, maka mustahil untuk menyusun strategi nasional yang efektif dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim.
0 komentar:
Posting Komentar